Budi Waseso Siapkan Skenario Penyerbuan ke Penjara

KepriNews,Jakarta--Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Budi Waseso geram mendapati peredaran narkotik masih dikendalikan oleh jaringan yang ada dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Keterbatasan akses yang terbelit prosedur berlapis di lapangan dinilai telah menghambat aparat penegak hukum membongkar jaringan pengendali peredaran narkotik di balik penjara. Untuk itu Budi dalam waktu dekat akan berkoordinasi dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beserta Direktur Jenderal Pemasyarakatan I Wayan Kusmiantha Dusak guna mencari solusi agar aparat bisa diberi kemudahan akses melakukan penggerebekan di penjara.
Budi Waseso Siapkan Skenario Penyerbuan ke Penjara

"Kalau ternyata di lapangan aparat masih dipersulit untuk masuk, jangan salahkan jika sewaktu-waktu kami menyerbu," kata Budi dalam keterangan resminya di Kantor BNN, Jakarta, Selasa (26/1).

Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri itu menegaskan niatnya tersebut bukan sekadar bualan. Rencana berembuk dengan Kemenkumham sudah dia agendakan sesegera mungkin.
Kekesalan Budi bukan tanpa alasan. Dia menilai kinerja BNN dan Polri dalam menindak pidana narkoba selama ini sudah optimal. Namun ketika orang yang tersangkut kasus masuk lapas, para narapidana itu justru lebih leluasa mengoperasikan jaringan bisnis narkotiknya dari balik sel.

Negara dalam Negara

Menurut Budi, baik Polri maupun BNN tidak punya kuasa menertibkan pengendalian narkoba dari balik Lapas, sebab ketika napi masuk penjara, kontrol otomatis beralih ke tangan pengelola Lapas.

"Rupanya para mafia ini merasa lebih aman di dalam Lapas. Jadi ini ibarat negara di dalam negara," kata Budi.

Budi menyatakan jaringan narkotik selama ini memanfaatkan lemahnya pengamanan di balik lapas seperti minimnya jumlah pengawas atau sipir, termasuk menjalin kerja sama dengan oknum penjara yang mudah dipengaruhi.

"Bahkan CCTV yang ada di sejumlah Lapas pun sengaja dibuat tidak berfungsi agar tidak dapat memonitor kegiatan mereka," kata Budi.

Aparat selama ini terkendala membongkar jaringan narkotik di penjara karena prosedur lapangan membuat upaya pembongkaran jaringan tersendat. Di sisi lain, kata Budi, aparat tidak bisa serta-merta bertindak tanpa mengantongi alat bukti.

Budi memberi satu contoh kasus yang dialami anak buahnya pada akhir 2015, ketika aparat BNN hendak membongkar jaringan pengendali peredaran narkotik di satu penjara yang ada di Bali.
Saat penyidik hendak masuk penjara, kata Budi, sipir di lapangan menghambat proses pemeriksaan dengan mempertanyakan tetek-bengek terkait izin prosedural.

"Alhasil barang bukti yang kami incar sudah hilang. Kami masuk memang ada barang bukti dan alat komunikasi, tapi kami tidak tahu siapa pemiliknya," kata Budi.

Masalah peredaran narkoba di balik penjara menjadi perhatian serius Budi Waseso lantaran ia mencatat sekitar 60 persen narapidana yang menghuni penjara di Indonesia adalah pesakitan kasus narkotik.

Menjalin komunikasi dengan pihak Kemenkumham pada akhirnya menjadi jalan terakhir bagi Budi untuk bisa mendapat kemudahan akses dari aturan berlapis di penjara, demi meringkus bandar-bandar narkotik di balik jeruji.

"Sekali lagi saya tekankan, kalau kami masih tetap tidak diizinkan masuk, kami akan melakukan penyerbuan," ujar Budi Waseso.

Sita Rp17 M

BNN menyita aset senilai Rp17 miliar hasil pengembangan kasus tindak pidana pencucian uang yang menjadi sarana dalam mengaburkan hasil keuntungan dari bisnis narkotik seorang residivis.

Aset sitaan itu didapat dari Gunawan Prasetio, seorang residivis yang sudah tiga kali keluar-masuk penjara karena tersangkut Narkotika sepanjang kurun tahun 2000-2010.

"Dia rupanya tidak kenal jera. Pembunuh berdarah dingin ini telah membuat generasi muda mati pelan-pelan karena narkotik," kata Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (26/1).

Gunawan diringkus BNN terkait dengan peredaran narkoba di wilayah Surabaya, Jawa Timur; Cilacap, Jawa Tengah dan Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Dalam praktiknya, Gunawan diketahui punya keterkaitan jaringan dengan Pony Chandra, narapidana narkotika yang divonis 20 tahun dan mendekam di Lapas Cipinang.

Pony merupakan bos besar yang menyuplai narkotik kepada Gunawan. Di balik jeruji besi, Pony mengatur distribusi barang haram berupa sabu dan pil ekstasi yang didatangkan dari Tiongkok untuk sampai ke tangan Gunawan.Jumlah transaksi yang dilakukan antara Pony dan Gunawan ditaksir mencapai lebih dari Rp23 miliar.

Dari tangan Gunawan, narkoba yang didapat dari Pony lantas didistribusikan kepada tiga penghuni Lapas lainnya di tempat terpisah.

Mereka yang mendapat suplai narkotik dari Gunawan adalah Sodikin, napi Lapas Medaeng Sidoarjo dengan vonis seumur hidup; Amir Mukhlis alias Sinyo, napi Lapas Nusakambangan dengan vonis 20 tahun penjara; Surya Bahadur alia Boski, napi Nusakambangan asal Nepal dengan vonis 20 tahun penjara; dan Ananta Lianggara alias Alung, napi Lapas Cipinang dengan vonis 20 penjara.

"Kasus besar ini menjadi bukti temuan bahwa peredaran narkotik masih terjadi di balik tahanan. Mereka merasa lebih leluasa beroperasi di dalam Lapas. Ini menjadi persoalan serius yang akan kami benahi," kata Budi.

Berdasarkan pengakuan Gunawan, kata Budi, tindak pidana pencucian uang telah dilakukan olehnya sejak tahun 2000-2014 dengan mengedarkan narkotik jenis sabu dan ekstasi.

Kasus pencucian uang yang dilakukan oleh Gunawan adalah menggunakan hasil keuntungan dari bisnis narkotika untuk membuka usaha penggilingan padi dan jual-beli beras, serta alat angkut berupa truk/tronton.

"Dalam melakukan transaksi keuangan terkait pencucian uang ini, dia menggunakan rekening dengan identitas palsu yang orangnya tidak ada, alias fiktif," kata Budi.

Dari hasil penangkapan Gunawan yang dilakukan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, pada 14 Januari, BNN menyita total aset Rp17 miliar yang terpecah dalam bentuk antara lain satu tempat usaha penggilingan padi, satu bidang tanah di Tebing Tinggi, dan 12 unit truk.

Selain itu, ada pula tiga unit mobil, dua unit forklit, dua unit tronton, perhiasan berupa cincin, gelang, dan kalung, serta uang dalam rekening berjumlah sekitar Rp9,5 miliar.

Atas perbuatannya, Gunawan dijerat pasal 137 huruf a dan huruf b UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika dan pasal 3, pasal 4 UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang karena patut diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyimpan, menransfer, menerimq, dan menikmati uang hasil kejahatan narkotika. (net/cnn)

Subscribe to receive free email updates:

DUKUNGAN TERHADAP PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan puncak dari semua perjuangan bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan mendapatkan sambutan yang luar biasa dan dukungan yang spontan dari segenap penjuru tanah air. Dinding-dinding rumah dan bangunan, pagar-pagar tembok, gerbong-gerbong kereta api, dan apa saja, penuh dengan tulisan merah “MERDEKA ATAU MATI.” Juga tulisan “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA.” Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 telah menetapkan Pekik Perjuangan “MERDEKA”sebagai salam nasional yang berlaku mulai tanggal 1 September 1945. Caranya dengan mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka, dan bersamaan dengan itu memekikkan “Merdeka”. Pekik “Merdeka” menggema di mana-mana di seluruh wilayah Indonesia.KEPRINEWS.COM-MEDIA AKTUAL DAN TERPERCAYA