" Presiden "Bumerang Media Sosial- Saracen Dan Media Online

Jakarta-Keprinews.com-Tidak dapat dipungkiri, peradaban saat ini melesat bagai lontaran meteor yang mungkin saja berhenti pada titik nadir digital itu sendiri. Atau bisa jadi, lompatannya langsung ke media hologram. Artinya, kita tidak dapat memprediksi kapan yang biasa disebut online itu akan berhenti. Hanya saja, dengan memberikan rambu-rambu agar pengguna tidak merusak manusia dan lingkungan bisa menjadi penyeimbang.

"Itu karena teknologi digital tidak dibatasi ruang dan waktu, sehingga 'mengharuskan' manusia hanya jadi pengikut (follower). Manusia tidak akan pernah bisa berada 'didepan' sarana digital" ucap Junisab Akbar, Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) ketika diajak 'melirik' dunia digital akibat hebohnya berita Saracen oleh Witanto Sekjen Ikatan Wartawan Online (IWO) Sabtu (2/9/2017).

Secara panjang lebar Junisab mengatakan, berbeda dengan peradaban masa konvensional, dimana kita selalu dapat 'sejajar' dengannya. Digital itu berbanding terbalik.

Mari kita analisa, belajar dari kasus kelompok Saracen, itu sebenarnya bukan semata-mata akibat dari mudahnya muncul 'kreatifitas' group tersebut. Bukan. Karena, ternyata kalau kita pelajari justru ada pengaruh awal dari kelemahan negara yang ternyata tidak mempersiapkan bimbingan dan atau rambu-rambu yang mengatur para pengguna pemula digital secara tegas dan berkala.

Contoh kecil, mana pernah ada bentuk-bentuk warning yang dilakukan pemerintah bersama penyedia aplikasi atau program medsos saat mengakses layaknya seperti peringatan yang dilakukan oleh pengelola online porno.

Forensik ITE plus juga harus transparan meski tetap mengedepankan aturan detail mengenai hal tersebut lewat informasi keterbukaan publik.

Meski kita memiliki Lembaga Sandi Negara yang melek IT, namun sangat disayangkan lebih banyak memberdayakan tenaga outsourcing, laiknya Kominfo yang juga banyak merekrut tenaga outsourcing IT sebagai lembaga defense negara.

"Selayaknya para IT yang ahli untuk dilembagakan. Bukan asal comot" tegasnya.

Walaupun ada regulasi seperti undang-undang ITE, itu ternyata bukan aturan sesungguhnya yang pas dengan peradaban sekarang.

Faktanya, group yang beraktivitas seperti Saracen tidak satu. Group tersebut banyak dan tumbuh tanpa bisa direm. Itu juga yang membuktikan bahwa negara harus bisa mencari formulasi yang tidak sekonvensional ITE. Negara harus bisa.

Akibatnya, sekarang timbul multitafsir. Timbul saling curiga ditengah rakyat. Presiden Joko Widodo sampai terlihat heboh. Entah kenapa. Polisi sampai harus rajin patroli cyber.

Bumerang.

Makna dari semua itu maka negara harus menemukan model yang selaras atau yang bisa berdampingan dengan teknologi digital yang seketika itu juga bisa mewarning dan sekaligus menghalangi para pengguna digital ketika terdeteksi melanggar peraturan.

Dari kasus Saracen, terlihat Presiden Jokowi memberikan respon yang bersifat konvensional setara dengan "pemadam kebakaran". Model seperti itu harus ditinggalkan. Jangan dipelihara.

Disisi lain, media khususnya media online juga dengan keras memberi respon anti terhadap 'produk-produk' Saracen. Sikap itu sama saja dengan Jokowi.

Kalau kami analisa, jika respon Presiden dan media online seperti model itu maka dipastikan mereka tidak akan pernah bisa mengiringi kemajuan digital di Indonesia. Itu malah bisa jadi pemicu lahir Saracen bermodus baru. Malah bisa jadi bumerang.

"Presiden bersama para pembantunya, baik yang melahirkan regulasi maupun penegak hukum harus mengkaji ulang apa yang sudah pernah mereka produksi bersama dengan DPR RI guna mengantisipasi seperti kelompok Saracen atau Saracen atau Sarachin dan lain-lainnya" sindir Junisab.

Apalagi jika Presiden tidak kuat menggandeng media online maka cenderung akan mubazir seluruh hal baik yang sudah dimulai Jokowi. Malah, bisa jadi kelompok Saracen yang tidak tercium aparat hukum akan 'bertelur' ke dalam bentuk lain dengan produk yang lebih membahayakan dari seperti yang diduga Jokowi.

"Kesimpulan kami, di era digital menyambut masa hologram diperlukan tata aturan yang tidak menakut-nakuti semata tanpa bisa menyadarkan calon pelaku baru" tutup mantan anggota Komisi III DPR RI itu.red

Subscribe to receive free email updates:

DUKUNGAN TERHADAP PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan puncak dari semua perjuangan bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan mendapatkan sambutan yang luar biasa dan dukungan yang spontan dari segenap penjuru tanah air. Dinding-dinding rumah dan bangunan, pagar-pagar tembok, gerbong-gerbong kereta api, dan apa saja, penuh dengan tulisan merah “MERDEKA ATAU MATI.” Juga tulisan “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA.” Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 telah menetapkan Pekik Perjuangan “MERDEKA”sebagai salam nasional yang berlaku mulai tanggal 1 September 1945. Caranya dengan mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka, dan bersamaan dengan itu memekikkan “Merdeka”. Pekik “Merdeka” menggema di mana-mana di seluruh wilayah Indonesia.KEPRINEWS.COM-MEDIA AKTUAL DAN TERPERCAYA