75 Perusahaan di Karimun Buat Rugi Negara

Kepri News, KARIMUN - Sebanyak 75 perusahaan tambang mineral yang beroperasi di Karimun, Provinsi Kepri, ternyata belum membayarkan setoran pajaknya. Akibatnya, negara dirugikan hingga miliaran rupiah.
Untuk menggali potensi pajak dari perusahaan tambang tersebut, Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Riau dan Kepri berkoordinasi dengan Kanwil Khusus DJBC Kepri.

Kerja sama antara Kanwil DJBC Khusus Kepri dengan Kanwil DJP Riau dan Kepri tersebut dituangkan dalam bentuk memorandum of understanding (MoU). Uniknya, penandatanganan MoU itu dilaksanakan di atas kapal patroli Bea Cukai BC-30001 di perairan Selat Beliah, antara perairan Karimun dan Kundur.

Kepala Kantor Wilayah DJP Riau dan Kepri Pontas Pane mengatakan, di wilayah Kepri terdapat 186 perusahaan tambang mineral yang sudah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dari 186 perusahaan itu, 98 di antaranya terdapat di Karimun. Namun sayang, hanya 23 perusahaan yang baru memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sisanya, 75 perusahaan lagi belum memiliki NPWP.

"Seberapa banyak Izin Usaha Pertambangan yang ada di wilayah lepas pantai, selama ini Kantor Pajak tidak mengerti. Namun, yang tahu itu adalah pihak Bea dan Cukai. Untuk itulah, kami meminta bantuan dari Bea dan Cukai untuk memetakan berapa banyak perusahaan tambang dan berapa yang sudah mengantongi IUP," kata Pontas Pane.

Pontas mengakui memang selama ini ada pemasukan, namun hanya berasal dari perusahaan yang terdaftar saja. Dari data yang dimiliki, untuk wilayah Kepri ada sebanyak 186 perusahaan yang sudah mengantongi IUP, dan baru digali dari sektor PBB sebesar Rp55,5 miliar selama kurun waktu 2014.

Namun sayangnya, meski banyak perusahaan yang tidak membayarkan pajaknya dan mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak, ternyata DJP tidak ngotot untuk mengejar setoran pajaknya, tapi hanya menargetkan kepatuhan dari wajib pajak saja.

"Kami tidak menargetkan rupiah, melainkan menargetkan kepatuhan," tutur Pontas.

Dijelaskannya, dengan kepatuhan yang meningkat maka akan ada pemasukan uang bagi negara dari wajib pajak tersebut. "Kalau kepatuhannya tetap maka tidak ada penambahan pemasukan untuk kas negara. Untuk itulah, kami akan terus menggali dan menghitung potensi wajib pajak di Kepri ini," terangnya lagi.

Pontas berharap, dengan adanya koordinasi antara DJP dengan DJBC terkait penggalian potensi pajak dari perusahaan tambang mineral yang ada di Kepri, bisa mendongkrak jumlah pemasukan bagi kas negara. Dari target semula yang hanya 17,1 persen bisa ditingkatkan menjadi 24 persen.

Kakanwil DJBC Khusus Kepri Harry Budi Wicaksono menambahkan, untuk memetakan jumlah perusahaan yang ada di sepanjang wilayah kerja mulai dari Aceh hingga ke Kalimantan Barat, pihaknya selalu melakukan 'ronda' melalui aktivitas patroli laut.

"Bea Cukai temukan fisiknya dan kirimkan ke Kantor Pajak," katanya.

Menurut dia, koordinasi yang dilakukan antara DJP dengan DJBC tersebut karena kedua institusi ini sama-sama berada di bawah naungan Kementerian Keuangan.

"Ketika Bea Cukai melihat ada potensi pajak yang bisa digali, maka kami laporkan kepada Kantor Pajak. Kerja sama ini dalam bentuk profesionalisme, integritas dan kekeluargaan," sebut Harry.

Selama ini, sambungnya, melalui peralatan Global Position System (GPS), pihaknya bisa mengetahui titik-titik mana saja perusahaan pertambangan dan informasi tersebut kemudian dilaporkan kepada Kantor Pajak. Kemudian, Kantor Pajak segera mengecek informasi yang disampaikan pihak Bea Cukai tersebut.

Berharap KPK Turun

Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak (P4) Kanwil DJP Riau dan Kepri Rahmad Wahyudi kepada Haluan Kepri berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mau turun mengawasi aktivitas penambangan timah laut yang diekspolitasi perusahaan tambang timah swasta di perairan Karimun.

"Saya baru pertama turun ke Karimun ini. Saya melihat begitu banyak kapal-kapal isap maupun kapal keruk untuk mengeksploitasi bijih timah di perairan Karimun. Aktivitas ini jelas merugikan negara. Berapa banyak mereka mengeruk hasil bumi, mungkin sudah mencapai triliunan rupiah, sementara berapa yang mereka setorkan ke negara," kata Rahmad saat berlayar dari perairan Sawang ke Karimun.

Melihat begitu besarnya dampak kerugian negara akibat eksploitasi tambang timah yang jor-joran dilakukan oleh perusahaan timah swasta itu, Rahmad berharap KPK secepatnya turun ke Karimun.

"Saya berharap KPK turun mengawasi ini. Apalagi, saya tahu KPK sangat komit untuk mengawasi kegiatan tambang di Kepri ini," ungkapnya.

75 Perusahaan di Karimun Buat Rugi Negara
75 Perusahaan di Karimun Buat Rugi Negara

Kata Rahmad, banyak sekali kejanggalan yang ditemukan ketika melihat aktivitas penambangan bijih timah di perairan Karimun tersebut, mulai dari menjamurnya kapal-kapal isap maupun kapal keruk sampai dengan informasi penggunaan tenaga kerja asing (TKA) di atas kapal isap produksi (KIP) timah itu.

"Saya mendapat informasi dari Bea Cukai kalau jumlah kapal isap itu sebanyak 30 unit, sementara informasi dari media melalui nelayan tradisional di Kundur maupun Karimun jumlah kapal isap swasta tersebut sebanyak 53 unit. Sebenarnya mana yang betul data itu. Terlepas dari itu, aktivitas ini jelas harus menjadi perhatian KPK," pungkasnya.

Meski tidak berhubungan langsung dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun, Rahmad juga berharap kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti agar juga menenggelamkan kapal-kapal isap produksi seperti halnya dengan menenggelamkan kapal ikan asing yang ditangkap melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah Indonesia.

"Kapal ikan yang ditenggelamkan tersebut merupakan kapal asing, lalu apa bedanya juga dengan kapal isap produksi yang mengeksploitasi bijih timah ini, kapal ini kan juga punya pihak asing, apalagi tenaga kerjanya juga merupakan tenaga kerja asing. Jadi pantas juga ditenggelamkan karena aktivitasnya bisa merusak biota laut," ungkap Rahmad.

Sementara itu di Jakarta, koalisi Anti-Mafia Tambang (KAMT) mendesak pemerintah segera menindak tegas pihak perusahaan yang tidak mendaftar sebagai wajib pajak dan mengemplang pajak.

"Pemerintah wajib menindak perusahaan pemegang IUP yang masih belum membayarkan utangnya dari sektor landrent dan royalti," tagas Anggota KAMT, Emerson Juntho di Jakarta, Senin (8/12).

Berdasarkan data, hanya sekitar 50% dari total IUP yang terbit diketahui memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Bahkan, sesuai data Ditjen Minerba, KAMT menghitung di 12 ada potensi kerugian penerimaan negara akibat kurang bayar dari 4.631 Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar Rp 3,768 trilyun.

KAMT menghitung potensi kerugian negara dari land rent yang mengacu pada PP Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak, diperoleh selisih yang signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasinya.

"Selisih antara realisasi penerimaan daerah dengan potensinya kami sebut sebagai potensi kerugian penerimaan (potential loss)," kata Emerson.

Besarnya potensi kehilangan penerimaan dari tahun 2009 hingga 2013, diperkirakan mencapai Rp 574,94 milyar di wilayah Kalimantan, Rp 174,7 milyar di wilayah Sumatera, dan Rp 169,487 di wilayah Sulawesi dan Maluku.

Karena itu, pemerintah selaku pemberi izin pertambangan perlu segera menghentikan operasional pertambangan di kawasan konservasi dan lindung, serta meminta KPK untuk menyelidiki dugan korupsi dalam pemberian izin.

"Tim Korsup Minerba KPK dan pemerintah perlu mempublikasikan izin yang telah dicabut dan lokasinya kepada publik agar bisa dilakukan pengawasan paska pencabutan izin," tegas Emerson.

Pemerintah selaku pemberi izin perlu segera menghentikan sementara operasi perusahaan hingga pencabutan izin pada IUP yang bermasalah (yang non-CNC, belum menempatkan jaminan reklamasi dan paska tambang), dengan tidak menghilangkan proses penegakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan (pajak, kerusakan lingkungan, dan lain-lain), serta meminta KPK untuk menyelidiki dugaan korupsi pada pemberian IUP yang bermasalah.

"Pemerintah harus melaksanakan fungsi pengawasan yang ketat dan penegakan hukum untuk memastikan tak ada alih fungsi lahan atau tindak pidana lain dengan melibatkan kelompok masyarakat sipil," kata Emerson.

Subscribe to receive free email updates:

DUKUNGAN TERHADAP PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan puncak dari semua perjuangan bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan mendapatkan sambutan yang luar biasa dan dukungan yang spontan dari segenap penjuru tanah air. Dinding-dinding rumah dan bangunan, pagar-pagar tembok, gerbong-gerbong kereta api, dan apa saja, penuh dengan tulisan merah “MERDEKA ATAU MATI.” Juga tulisan “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA.” Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 telah menetapkan Pekik Perjuangan “MERDEKA”sebagai salam nasional yang berlaku mulai tanggal 1 September 1945. Caranya dengan mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka, dan bersamaan dengan itu memekikkan “Merdeka”. Pekik “Merdeka” menggema di mana-mana di seluruh wilayah Indonesia.KEPRINEWS.COM-MEDIA AKTUAL DAN TERPERCAYA