Mewakili Suara Masyarakat Adat Nukila Evanty Sampaikan 5 Hal Di Gedung PBB

Keprinews.com, Internasional - Dikenal dengan nama Nukila Evanty, wanita kelahiran Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau, satu-satunya terpilih dari Indonesia dengan dukungan dari United Nations (UN) Voluntary Fund for Indigenous Peoples, untuk mewakili masyarakat adat di United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII), selanjutnya disebut forum tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Foto: Nukila Evanty, wanita kelahiran Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau.(Dok:Ist)

Acara tersebut berlangsung di Kantor PBB New York, Amerika Serikat, dari tanggal 17 s/d 28 April 2023.

Forum tetap PBB tersebut, adalah sebagai ajang memberikan saran dan rekomendasi ahli tentang isu-isu masyarakat adat serta berbagai program, seperti program dana dan badan-badan PBB, untuk meningkatkan kesadaran, mempromosikan integrasi, koordinasi, serta kegiatan yang berkaitan dengan isu-isu masyarakat adat dalam sistem PBB yang didalamnya ada perwakilan negara-negara.

"Selain itu, kegiatan dimaksud juga menyiapkan dan menyebarluaskan informasi tentang isu-isu masyarakat adat," jelas Nukila Evanty saat di konfirmasi wartawan melalui sambungan telepon WhatsApp.

Dia menjelaskan ,sebagai masyarakat adat Rokan Hilir Riau dan Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA-red), ada 5 hal yang saya sampaikan di dalam Forum PBB tersebut yaitu.

1. "Riau adalah daerah penghasil sumber minyak mentah (crude oil) terbesar, termasuk minyak hasil produksi sawit. Bayangkan, untuk _crude oil,_ kita pernah bahkan memproduksi 1,2 juta barel per hari. Namun, semuanya menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat adat, karena perusahaan-perusahaan/pebisnis yang tak bertanggung jawab tersebut dan tindak pembiaran dari pemerintah daerah telah menyebabkan tanah masyarakat adat diambil tanpa persetujuan (free prior and informed consent) dan tanpa konsultasi mendalam dengan masyarakat adat serta para aparat telah mengabaikan amanat dalam hukum dan Undang-Undang (UU)"

2. "Beberapa dampaknya adalah masyarakat adat terusir dari tanahnya, limbah minyak mencemari lingkungan masyarakat, air bersih dan perkebunan. Bahkan kondisi kesehatan masyarakat, termasuk perempuan dan anak-anak memburuk. Perusahaan telah memberikan santunan/kompensasi tetapi hanya sebagai simbol terhadap apa yang mereka sebut skema CSR (Corporate Social Responsibility) atau skema -skema lainnya". 

3. "Jika ada masyarakat adat yang menentang tindakan perusahaan, maka akan dibalas dengan ancaman pidana atau aduan balik dari perusahaan dengan pasal pidana misalnya perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik".

 4. "Masifnya usaha perkebunan, termasuk perkebunan kelapa sawit dan industri ekstraktif /pertambangan telah menyebabkan perubahan besar-besaran di daerah yang terkena dampak perluasan perkebunan dan pertambangan. Di provinsi Riau, kebakaran hutan dan lahan gambut sejak tahun 1980-an telah mempengaruhi area seluas lebih dari 2 juta hektar.

Sebagian besar tanah ini secara historis dimiliki oleh masyarakat adat, tanpa persetujuan kami, kami secara paksa telah dipindahkan dari tanah kami, perusahaan dan oknum -oknum pemerintah dan keamanan kadang-kadang menggunakan kekerasan ekstrem (extortion) untuk mencapai tujuan mereka. Hak-hak masyarakat adat yang telah mendiami kawasan hutan/lahan gambut sejak zaman nenek moyang kami telah dilanggar. Lahan dan Hutan diubah menjadi perkebunan termasuk perkebunan kelapa sawit tanpa free prior dan informed consent. Bahkan jika terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut tersebut yang menimbulkan asap pollutant tersebut maka masyarakat adat dengan kondisi paru-paru rentan, ibu hamil dan anak-anaklah paling berisiko. Asap tersebut dapat memperparah penyakit asma, bronkitis, penyakit mata dan infeksi pernapasan serta penyakit jantung bagi lansia".

5. "Beberapa kebijakan pemerintah bahkan mendiskriminasi praktik/tradisi yang telah lama dilakukan masyarakat adat seperti terhadap suku Akit dan Talang Mamak yang telah melakukan praktik membakar hutan/lahan untuk berladang (berkebun-red) dengan membakar kurang dari 2 hektar. Padahal tradisi ini dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan alam dan ritual serta diawasi secara ketat, air telah dipersiapkan dan kebiasaan ini sudah diwariskan secara turun-temurun.

"Saya sangat berharap, semoga tercapai perlindungan hak-hak yang lebih baik bagi masyarakat adat di Indonesia pada umumnya dan terutama masyarakat adat di Riau tercinta ini". pungkasnya.



Awalludin


Sumber:Nukila Evanty

Subscribe to receive free email updates:

DUKUNGAN TERHADAP PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan puncak dari semua perjuangan bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan mendapatkan sambutan yang luar biasa dan dukungan yang spontan dari segenap penjuru tanah air. Dinding-dinding rumah dan bangunan, pagar-pagar tembok, gerbong-gerbong kereta api, dan apa saja, penuh dengan tulisan merah “MERDEKA ATAU MATI.” Juga tulisan “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA.” Maklumat Pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 telah menetapkan Pekik Perjuangan “MERDEKA”sebagai salam nasional yang berlaku mulai tanggal 1 September 1945. Caranya dengan mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka, dan bersamaan dengan itu memekikkan “Merdeka”. Pekik “Merdeka” menggema di mana-mana di seluruh wilayah Indonesia.KEPRINEWS.COM-MEDIA AKTUAL DAN TERPERCAYA