KETIKA lumpur bah menutup atap rumah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, yang tersisa bukan hanya puing, melainkan juga keputusasaan birokrasi. Di hadapan bencana raksasa itu, para bupati tak lebih dari penonton yang dipaksa menjadi panglima perang tanpa senjata. Mereka menyerah, gubernur terlambat tiba, dan pusat masih berkutat dengan definisi kewenangan. Sementara perdebatan administratif berlangsung, rakyat di bawah hanyut ditelan arus, korban dari desain otonomi yang setengah hati.
Bencana hidrometeorologi yang meluluhlantakkan Sumatera bagian utara ini kembali menelanjangi cacat bawaan desain otonomi daerah Indonesia. Pembagian urusan yang kabur, tumpang tindih, dan abai terhadap kapasitas riil daerah.
Jebakan "Urusan Konkuren"
Biang keladi kekacauan ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Regulasi ini membagi urusan pemerintahan dengan konsep “konkuren” antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Di atas kertas model ini tampak komprehensif. Namun, dalam praktiknya ia melahirkan zona abu-abu. Siapa yang harus berbuat apa, dan siapa yang mesti bertanggung jawab. Saat bencana melanda, semua pihak merasa memiliki “sepotong” kewenangan, tetapi tak ada yang berani memikul tanggung jawab penuh.
UU No. 23 tahun 2014 memaksakan 31 urusan pemerintahan kepada pemerintah kabupaten/kota. Ini beban yang tidak realistis. Mayoritas kabupaten/kota di Indonesia tidak memiliki kemewahan sumber daya manusia teknis, kelembagaan yang kokoh, maupun Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang memadai. Hampir semua daerah tingkat II gagal mengelola 31 urusan itu secara efektif. Hasilnya bisa ditebak, pelayanan publik suboptimal dan kelumpuhan total saat bencana besar datang.
Kembali ke Logika Dasar:
Local vs Regional
Sudah saatnya kita menata ulang logika pembagian kekuasaan dengan merujuk pada praktik terbaik global (best practices) seperti di Inggris, Belanda, Perancis, Jepang, hingga Australia. Pembagian urusan semestinya memegang teguh asas ”kedekatan dampak” dan ”cakupan wilayah”.
Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota (Local Affairs)
Kewenangan daerah tingkat II harus fokus pada urusan yang bersentuhan langsung dengan keseharian warga. Ini mencakup pendidikan dasar, layanan kesehatan primer (Puskesmas), sanitasi dan air bersih, pengelolaan sampah, drainase lingkungan, perizinan skala kecil, perumahan rakyat, serta pemberdayaan UMKM. Ini adalah urusan yang dampak dan penanganannya bersifat lokal.
Urusan Pemerintah Provinsi (Regional Affairs)
Provinsi harus berperan sebagai koordinator dan manajer lintas wilayah. Kewenangannya meliputi pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) lintas kabupaten, transportasi antarkota, pendidikan menengah, rumah sakit rujukan regional, serta pengendalian pencemaran lintas wilayah. Provinsi berfungsi sebagai mediator, harmonisator, dan kepanjangan tangan pusat untuk memastikan standar nasional berjalan di daerah, mirip fungsi prefecture di banyak negara maju.
Urusan Pemerintah Pusat (National Affairs)
Pusat harus memegang kendali penuh atas urusan strategis berdampak luas. Ini mencakup pertahanan keamanan, fiskal makro, energi, kehutanan strategis, infrastruktur nasional, hingga penanganan bencana alam skala besar.
Mengapa Pusat Harus Turun Tangan?
Bencana besar seperti di Sumatera adalah mutlak urusan pusat. Menyerahkan penanganan bencana masif kepada kabupaten/kota adalah tindakan naif, setidaknya karena lima alasan:
1. Akar Masalah Struktural
Kerusakan lingkungan sering kali dipicu oleh kebijakan pusat (izin tambang, Hutan Tanaman Industri, hingga Proyek Strategis Nasional).
2. Lintas Batas
Bencana hidrometeorologi tidak mengenal batas administrasi otonomi daerah.
3. Beban Biaya
APBD kabupaten tidak akan pernah cukup menanggung biaya pemulihan bencana besar.
4. Kesenjangan Teknologi
Peralatan berat dan teknologi mitigasi canggih umumnya hanya dimiliki pusat.
5. Kompleksitas Koordinasi
Mobilisasi lintas kementerian/lembaga hanya efektif jika dipimpin dari Jakarta.
Membiarkan kabupaten/kota menghadapi bencana besar sendirian sama halnya dengan menyuruh perahu nelayan menghadang gelombang tsunami.
Rekomendasi Kebijakan
Pemerintah tidak boleh lagi berlindung di balik aturan yang tumpang tindih.
Jangka Pendek: Pemerintah pusat harus segera mengambil alih komando penanganan bencana di Sumatera. BNPB, Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Kementerian Sosial, serta TNI-Polri harus memimpin di garis depan. Provinsi bertindak sebagai koordinator regional, sementara kabupaten/kota fokus pada evakuasi warga dan layanan sosial dasar.
Jangka Panjang
Revisi total UU No. 23 tahun 2014 adalah keniscayaan. Kita harus mengakhiri model konkuren yang membingungkan. Undang-undang baru harus memilah tegas, local affairs diserahkan kepada kabupaten/kota, regional affairs kepada provinsi, dan national affairs tetap di tangan pusat. Kompetensi dan kapasitas harus menjadi basis pembagian kewenangan, bukan sekadar pelimpahan administratif tanpa dukungan sumber daya.
